Saturday, July 24, 2010

Rainbow at The School Part 1


 


Ketika bel istirahat telah berdering, dan langkah kaki murid-murid keluar dari kelasnya masing-masing. Bergedebuk di lantai koridor sekolah. Jie Fei langsung menuju kelas 3-A, sejak tadi siang ia sudah mengikuti cowok itu terus secara diam-diam, Ho Huang Zi, kakak kelas idamannya . JIe Fei menghampiri seorang laki-laki yang juga merupakan murid di kelas 3-A, laki-laki itu tampaknya hendak menuju suatu tempat tapi tertahan Jie Fei.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

“Bisa panggilkan Kak Ho?”

Lelaki itu mengernyit ke arah Jie Fei. Rasanya dia ingin bertanya, kenapa tidak panggilkan sendiri? Tapi setelah ada jeda beberapa lama, diapun masuk ke dalam kelasnya. Tidak lama kemudian, lelaki itu keluar lagi dan meneruskan langkahnya pergi. Sementara Huang Zi muncul dengan tampangnya yang biasa. Beku.

“Apa kau mengenalku?” tanya Jie Fei, “tujuh tahun yang lalu?”

“Tidak.”

“Tentu saja. Sudah tujuh tahun berlalu…,” kata Jie Fei dengan nada kecewa. Mungkin kejadian tujuh tahun lalu itu tidak berarti bagi Huang Zi. Tapi sangaaat berarti bagi Jie Fei. Itu telah merubah dirinya.

“Ada perlu apa? Aku harus segera ke perpustakaan.”

“Ide bagus! Kita bisa bicara disana!”

“Perpustakaan adalah tempat membaca, bukan mengobrol,” kata Huang Zi. “Katakan sekarang!”

Jie Fei tersenyum, rasanya Huang Zi akan mendengarnya. Dia tersenyum. “Mmm…, aku…”

Huang Zi masih berdiri didepannya, menatapnya.

“Aku…”

Huang Zi mengangkat alis…

“Ada yang ingin kusampaikan tapi aku sangat malu mengatakannya…” kata Jie Fei sambil menunduk. Huang Zi menyeringai seraya mendengus kesal.

“Membuang waktu!” kata Huang Zi lalu berjalan pergi. Jie Fei tersentak, dengan segera dia langsung menahan tangan Huang Zi. Huang Zi menoleh dan menyingkirkan tangan Jie Fei seakan-akan tangan Jie Fei kotor oleh sesuatu.

“Aku sudah berjuang untuk bisa berbicara denganmu, tapi setelah berlatih tujuh tahun aku tetap tidak sanggup. Karena itu aku menuliskannya disini.” Gadis itu memberikan sehelai kertas yang dilipat pada Huang Zi. Menaruhnya di telapak tangan lelaki dingin tersebut.

“Apa ini?”

“Surat cintaku padamu…”

“Apa?” pekik Huang Zi. “Waktu tujuh tahun telah kau jadikan sampah. Hanya untuk memberikan ini?”

“Apa kau tidak senang?”

“Senang? Kenapa harus senang?”

“Semua teman-temanku, maksudku mantan teman-temanku dan pelay… maksudku orang-orang disekelilingku berkata kalau aku sangat cantik. Kau tidak senang mendapat surat cinta dari gadis cantik sepertiku?” tanya Jie Fei yang baru saja tidak percaya Huang Zi berkata dia tidak senang mendapat surat cinta darinya.

“Aku tidak akan berkata kau jelek, tapi kau biasa saja seperti gadis murahan lainnya. Dalam seminggu aku mendapat surat cinta 10 kali. Apa kau tahu itu?”

“Tapi aku benar-benar menyukaimu, maksudku, mencintaimu. Tidak seperti gadis yang lain…”

“Semua gadis yang mengirimiku surat cinta berkata seperti itu. Itu sangat klise,” kata Huang Zi.

“Aku benar-benar ingin membuat Kak Ho bahagia. Tolong berikan aku kesempatan!”

Huang Zi terdiam sejenak, dia menghela nafas. “Apa kau akan melakukan segala perintahku?”

“Iya, apa saja!” ujar Jie Fei penuh antusias.

“Pergilah ke atas gedung dan lompat!”

“Apa?” Jie Fei tidak percaya dengan pendengarannya.

“Kau tidak mencintaiku. Kau mencintai dirimu sendiri dan angan-angan. Menyingkirlah agar kau tidak segera ditertawakan.”

Jie Fei menunduk, dan tidak segera menyingkir. Dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan meledak beberapa detik kemudian. “JIKA ITU MAUMU AKAN KULAKUKAN! AKU AKAN LOMPAT DARI GEDUNG YANG SANGAT TINGGI!!!”

Huang Zi terperangah, dia membelalakkan matanya. Tapi kembali dengan ekspressi bekunya semula. “Terserah!” katanya lalu melangkah pergi menuju perpustakaan. Tempat biasanya ketika istirahat pertama.

***

“Ketika aku ingin membuktikan ketulusanku, haruskah aku lompat dari gedung setinggi ini?” tanya Jie Fei bertanya pada dirinya sendiri. Hembusan angin menampar wajahnya dan membuat rambut panjangnya berkibar seperti bendera. Dia benar-benar sedang berada di atas gedung tinggi, membiarkan kakinya melayang di atas ratusan meter dari permukaan tanah. Taiwan begitu dingin malam ini, berhiaskan lampu-lampu menyala seakan ribuan kunang-kunang yang berasal dari bangunan-bangunan yang berdiri dengan angkuh.

“Haaah…” Jie Fei mengeluarkan nafas dari mulutnya yang lalu menjelma menjadi asap putih. Ia tidak sedang merokok, tapi karena udara begitu dingin dan menyeruak ke segenap pori-pori membuat nafasnya seperti asap putih yang berkepul. Ini saatnya aku lompat, batin Jie Fei dan menghempaskan tubuhnya ke depan dengan mata terpejam. Tubuhnya meluncur dengan cepat membalap kecepatan lift gedung. Ketika lompat dari ketinggian seperti itu, sebuah bayangan langsung berkelebat. Peristiwa tujuh tahun lalu yang telah membuatnya seperti ini…

***

7 tahun yang lalu…

Makiko adalah seorang anak bungsu dari pengusaha paling sukses di Jepang. Dia adalah anak yang paling sering dimanja daripada keempat kakaknya. Dia juga yang paling banyak pelayan pribadinya. Dia memiliki apapun yang diinginkan anak-anak seusianya. Kecuali… teman.

Makiko sedang ulang tahun, usianya sudah menginjak 10 tahun. Pakaiannya sangat cantik dan banyak anak perempuan iri dengan gaun ulang tahun berwarna biru yang dia dikenakan. Semua orang dari kalangan terpandang datang hanya untuk menghadiri ulang tahunnya. Ini adalah hari yang benar-benar menggembirakan bagi Makiko.

Anak-anak seusianya menghampiri Makiko. Mereka berdecak kagum dengan semua yang dimiliki Makiko. Makiko dikelilingi oleh anak-anak itu hingga akhirnya dia mengajak mereka bermain dengan permainan balap mobil dan roller coaster, hadiah ulang tahunnya yang baru. Semua teman-temannya menyambut dengan gembira, mereka bermain sepuasnya di pekarangan rumah mewah tersebut.

Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun melewati Makiko. Begitu saja. Tepat di depannya. Tanpa melihat sedikiiit pun. Hati Makiko mencelos. Apa anak laki-laki itu tidak melihatku?

“Wait!” Makiko memberhentikan anak laki-laki itu yang tidak lain adalah Ho Huang Zi. Dia sudah mahir berbahasa Inggris karena dia pernah tinggal di Inggris selama beberapa tahun. Untungnya, Huang Zi juga mahir berbahasa Inggris di usia semuda itu karena dia mudah menyerap berbagai pelajaran. Komunikasi mereka pun tidak terhambat. “Kau tidak melihatku, kan? Katakan kau tidak melihatku!”

“Aku melihatmu…”

“Bohong! Kalau begitu kenapa kau melewatiku begitu saja?! Apa kau tahu akulah anak perempuan manis yang sedang ulang tahun sekarang!”

“Aku tidak peduli.”

“Tidak peduli? Heh, aku ini bisa memberimu apapun seperti mereka. Kau mau apa? Mainan? Kue? Aku akan memberikannya. Bagaimana kau bisa berkata tidak peduli?”

“Membuang waktu.”

“Kau tidak bisa menolak keinginanku!”

“Aku bisa.”

“Aku punya semuanya! Kau tidak mungkin menolak keinginanku karena keinginanku akan terkabulkan. Pasti!”

“Kau tidak memiliki apapun kecuali uang. Kau tidak memiliki teman dan teman-temanmu itu bukan teman sejati. Mereka akan hilang ketika kau tidak bisa lagi memberikan apapun. Dan aku tidak mau menjadi mereka, temanmu. Kau mengerti?”

Makiko membelalakkan matanya. Terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan anak laki-laki berusia sebelas tahun itu. Ini pertama kalinya, dalam hidupnya, seseorang mencampakkannya hingga ia benar-benar sakit hati. “Kau… iri padaku, kan?” tanyanya dengan bibir gemetar.

“Iri? Kenapa harus iri?” tanya Huang Zi. “Aku kasihan padamu,” ujarnya dengan nada kalem lalu melangkah pergi menuju orang tuanya yang sedang mengobrol di dekat air mancur.

“Nona, ini bando yang kau inginkan…” seorang pria tua bernama Paul datang menghampiri Makiko sembari menyodorkan bando berwarna biru serasi dengan gaun Makiko. Makiko mengambilnya tapi setelah itu langsung dia lemparkan ke wajah pria tua yang tidak lain adalah pelayan pribadinya tersebut.

“KAU SAJA YANG MEMAKAINYA!” kata Makiko lalu berjalan pergi dengan menghentakkan kaki dan melipat tangannya kesal.

***

Jie Fei terjatuh ke sebuah balon besar berbentuk telapak tangan yang memang sejak tadi berada disana. Seorang pria tua dengan rambut yang disisir rapih dan jas yang terkancing sampai leher langsung menghampirinya. Dia Paul. Merekapun lalu bicara dalam bahasa Jepang.

“Nona, anda tidak apa-apa?” tanyanya.

“Kau sudah buatkan videonya belum?” tanya Makiko.

“Maaf, saya tidak mengerti cara menyalakan apa ini?”

“Handy Cam?”

“Iya, lagipula saya sangat khawatir dengan keselamatan anda, nona.”

Jie Fei mendesah kecewa. “Di atas dingin sekali pula dan liftnya mati, aku tidak mau menaiki 20 lantai dengan menaiki tangga. Bagaimana kalau kau mengenakan pakaianku dan wig dengan bando agar wignya tidak lepas untuk lompat dari atas sana dan aku yang merekam? Bagaimana?”

“Tapi…”

“Aah, sudahlah. Tidak akan ketahuan karena sangat tinggi. Bagaimana?”

“Ba.. baik!” katanya. Dia memang diperintahkan untuk mematuhi semmuuua keinginan Jie Fei, maksudku, Makiko. Mereka adalah orang yang sama. Makiko belajar bahasa Mandarin selama tiga tahun, dia ingin menjadi cewek yang mudah berkomunikasi dengan pangeran pujaannya yang telah menyadarkannya tujuh tahun lalu. Huang Zi benar, ketika Makiko sakit, teman-temannya tidak ada satupun yang menjenguknya. Mereka hanya menginginkan harta, mainan, dan kue Makiko saja. Mereka tidak ada ketika Makiko membutuhkan mereka.

***

Puluhan komputer berbaris dan berjajar sangat rapih dalam laboratorium sekolah elit di Taipei ini. Seluruh murid kelas 3-A sedang berada disana, mereka tengah mengikuti pelajaran komputer. Pak Guru Ming sedang menjelaskan panjang lebar tentang materi bisnis online di sebuah layar besar yang merupakan tampilan dari komputer server. Huang Zi juga berada disana, duduk mendengarkan.

“Affiliate Marketing adalah kita menjual produk orang lain dan kita akan mendapat komisi dari setiap penjualan yang berhasil kita lakukan,” katanya. Pria berusia 44 tahun itu hendak melanjutkan pelajarannya tapi terpotong. Layar yang digunakannya untuk menyampaikan secara visual kepada murid tiba-tiba menjadi berwarna hitam seluruhnya. Dan seluruh layar komputer yang berada dalam ruangan itu juga. BLAM! Menjadi gelap. Bukan. Bukan mati karena beberapa detik kemudian, tampilan dalam layar itu berubah menjadi sebuah video, seorang “gadis” melompat dari gedung tinggi. Selanjutnya, layar kembali hitam dan kini muncul video Jie Fei sedang duduk.

“Kau sudah tahu aku sangat mencintaimu, jadi aku tidak akan malu lagi mengatakannya di depan semua orang…”

Para murid dan guru langsung heran. Huang Zi terkejut, dia langsung merasa tidak nyaman.

“Walaupun kau tampan, tapi bukan itu yang membuatku mencintaimu. Kau telah merubah pemahamanku tentang teman. Walau kau pernah bilang tidak mau berteman denganku, bagaimana kalau kita… pacaran? Ehehe, aku memang sangat aneh. Tapi aku sudah membuktikannya kan? Aku benar-benar melompat dari gedung. ”

“Ada apa ini?!!” Pak Guru Ming terlihat sangat heran bukan main, dia menuju server untuk mengembalikan tampilan seperti semula. Tapi tidak bisa.

“Aku mencintaimu, Huang Zi…” ujar Jie Fei. Layar pun langsung kembali seperti semula dan kini Huang Zi menyadarinya. Semua mata menuju ke arahnya dengan sorotan yang membuat tidak nyaman.

***

Selanjutnya:

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Jangan jadi silent reader, giliranmu bercuap-cuap ria.

Related Posts Plugin by ScratchTheWeb